Bitung  

“Akhirnya Ada yang Mau Mendengar Kami” – Cerita Warga Bitung Timur Saat CEP Datang Menyapa

Bitung, – Hari itu, halaman kantor kelurahan mulai ramai. Di antara riuh suara warga yang saling menyapa, tampak wajah-wajah penuh rasa ingin tahu. Mereka tidak menunggu acara seremonial, tetapi sosok yang mereka yakini mau duduk bersama dan mendengarkan – Christiany Eugenia Paruntu, atau yang akrab disapa CEP.

Di pojok ruangan, seorang ibu paruh baya, Maria, menggenggam erat secarik kertas berisi daftar keluhan yang ia tulis semalam. “Kalau bukan sekarang, kapan lagi saya bisa sampaikan?” ujarnya pelan, matanya menatap kursi kosong di depan yang sebentar lagi akan ditempati sang wakil rakyat.

Tak lama, CEP tiba. Tanpa jarak, ia menyalami satu per satu warga. Tidak ada mikrofon yang menghalangi, tidak ada podium tinggi – hanya kursi plastik yang disusun melingkar. CEP duduk sejajar, matanya menatap langsung lawan bicaranya.

“Saya datang bukan untuk memberi janji manis, tapi untuk mendengar. Apa pun kendala Bapak-Ibu, saya akan bawa ke Senayan untuk diperjuangkan,” katanya dengan nada hangat.

Satu per satu warga angkat bicara. Seorang nelayan menceritakan sulitnya melaut karena dermaga rusak. Pemuda setempat mengeluh minimnya lapangan pekerjaan. Ibu-ibu PKK meminta dukungan untuk usaha kecil mereka. Setiap kata disimak, setiap keluhan dicatat.

Maria akhirnya maju. Suaranya bergetar saat berbicara tentang pelayanan kesehatan yang sulit dijangkau lansia di lingkungannya. CEP mendengarkan tanpa memotong, lalu menunduk sejenak seperti meresapi cerita itu. “Ini akan saya bawa, Bu. Kita harus cari solusinya,” ujarnya tegas.

Bagi warga Bitung Timur, momen ini lebih dari sekadar kunjungan reses. Ini adalah hari di mana suara mereka, yang sering terhenti di pintu-pintu birokrasi, akhirnya menemukan jalan menuju ruang rapat DPR RI.

Saat acara usai, Maria pulang dengan langkah ringan. “Entah nanti hasilnya seperti apa, tapi hari ini… setidaknya kami sudah didengar,” ucapnya sambil tersenyum tipis.

Bagi CEP, kunjungan itu meninggalkan beban amanah. Bagi warga, kunjungan itu meninggalkan secercah harapan. Dan di antara keduanya, tersimpan janji tak tertulis: bahwa perjuangan belum berakhir, justru baru dimulai.

(red)